Percayahkah anda: Sejak dulu manusia selalu ditakdirkan untuk saling membunuh, pendusta, penghianat, idiot, maling, bajingan, rakus, pencemburu, ambisius, berpikiran buas, bermoral bejat, munafik dan goblok...

4 Sep 2010

Kekerasan Dimata Agama


Oleh: SangKodok


Juergensmeyer berpendapat bahwa agama memiliki arti penting bagi aksi-aksi kekerasan, karena agama memberikan pembenaran-pembenaran moral untuk membunuh dan menyajikan gambaran tentang 'perang kosmis' yang menjadikan kalangan aktivis memiliki keyakinan bahwa mereka tengah melaksanakan sekenario-sekenario spiritual.



Kekerasan pada kenyataanya seringkali melibatkan agama, atau setidaknya ajaran agama yang kadangkala sering dijadikan sebagai alat pembenaran atas tindak kekerasan, dan oleh karenanya dikenal “kekerasan agama” atau setidaknya “kekerasan atas nama agama”.Kekerasan atas nama agama mengandung paradoks, jika agama diperlakukan sebagai suatu sistim yang menjadi salah satu sumber dari hak asasi manusia. Kekerasan didalam praktek kehidupan beragama terlihat secara empiris historis dan bukan bersifat paradoksal seperti yang terjadi pada tataran struktur budaya dan bahkan sering kali diproduksi terus-menerus dari generasi ke generasi berikutnya. Meskipun tidak serta merta dapat disimpulkan agam-alah yang menjadi pemicu timbulnya kekerasan. Ia juga menambahkan bahwa gagasan dan gambaran tentang kekerasan tidak hanya menjadi monopoli suatu agama tertentu; bahkan setiap tradisi agama besar (Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Sikh dan Buddhis) sering kali terlibat sebagai pelaku-pelaku kekerasan.

Jurgensmayer juga menyatakan tidak adil jika mencap Osama bin Laden sebagai seorang teroris muslim atau mengkarakteristikan Timothy Mc Veigh sebagai seorang teroris Kristen. Mereka melakukan aksi kekerasan karena keyakinan-keyakinan mereka sebagai orang Islam maupun Kristen. Namun, kenyataannya bahwa agama-lah yang melatar belakangi mereka, dan dibalik begitu banyak pelaku kekerasan publik yang sangat beragam, mengindikasikan bahwa semua agama, secara inheren, bersifat revolusioner. Mereka mampu menyediakan sumber-sumber ideologi untuk sebuah pandangan alternatif mengenai tatanan publik.

Didalam pandangan ajaran agama Islam, menurut bapak Saifudin Amin bahwa yang dimaksud dengan kekerasan menurut pandangan agama Islam, yaitu hal–hal atau perbuatan yamg bersifat memaksa, dalam arti kata memaksakan kehendak dengan cara memerintah ataupun permohonan yang harus bahkan wajib untuk dilaksanakan, dan apabila perintah ataupun permohonan tersebut tidak dilakukan dan dilaksanakan maka ada konsekuensi atau tindakan-tindakan yang berupa intimidasi bahkan sampai berupa tindakan kekerasan sekalipun.Beliau juga menjelaskan bahwa agama Islam tidak membolehkan atau mengharamkan tindakan kekerasan walaupun tindakan kekerasan itu dilakukan secara psikis sekalipun, tetapi kita sebagai umat Muslim wajib mengingatkan dan mengajak untuk melakukan kebaikan guna menjalankan kaidah-kaidah agama, sebagaimana dijelaskan dalam Al-quran surat An Nahl ayat 125 yang artinya “Ajaklah kepada syariat Tuhanmu dengan bijaksana dan nasehat yang baik dan menarik, serta bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Tuhanmu betul-betul mengetahui orang yang sesat dari jalan-Nya, dan Dialah yang sangat mengetahui orang yang mendapat petunjuk”. Selain itu ia menambahkan dengan sabda Rasulullah saw “bahwa tidak ada paksaan dalam beragama”.

Akan tetapi didalam agama Islam meggunakan kekerasan diperbolehkan dalam arti kekerasan itu dipergunakan untuk mempertahankan diri atau hak-hak kita apabila hak-hak kita di intervensi oleh orang lain, jika kita tidak melakukan perlawanan dalam arti kata kita hanya diam saja maka kita berdosa. Allah menjamin apabila kita meninggal dunia dalam mempertahankan diri atau hak-hak kita, Allah menjamin kita masuk surga, karena meninggalnya kita adalah syahid. Hal itu dijanjikan Allah dalam surat As Sajadah ayat 30 yang artinya “Maka berpalinglah kamu dari mereka dan tunggulah, sesungguhnya mereka (juga) menunggu”.

Dalam hal untuk mendidik anak, beliau memberikan contoh dalam hal melaksanakan ibadah shalat, Islam mengajarkan bahwa shalat merupakan tiang agama, maka Rasulullah mengajarkan ajaklah anak-anakmu untuk mengerjakan shalat setelah mereka (anak-anakmu) berusia tujuh tahun, dan jika pada usia sembilan tahun anakmu tidak mau mengerjakan shalat maka peringatkan dengan tegas , dan apabila sampai dengan usia sepuluh tahun, anakmu tidak mau mengerjakan shalat maka pukul-lah mereka (anakmu) dalam arti kata kekerasan yang dilakukan semata-mata untuk kasih sayang dan kebaikan untuk si anak.

Beliau juga menjelaskan kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang atau kelompok yang biasa kita artikan atau kita sebut dengan teroris merupakan orang atau kelompok yang memaksakan kehendaknya agar dituruti, dan apabila tidak dituruti dampaknya dapat berupa ancaman bahkan sampai dengan tindakan kekerasan (merusak fasilitas umum sampai dengan melakukan pemboman). Hal-hal seperti itu tidak diajarkan dalam agama Islam, Islam mengajarkan umatnya untuk menyampaikan sesuatu dengan lemah lembut dan secara bijaksana bukan dengan pedang ataupun senjata.

Pandangan kekerasan di mata agama menurut bapak Anto salah satu intelektual Kristen Menonait kekerasan menurut ajaran agama Kristen harus terlebih dahulu diawali secara internal dalam ajaran Kristen Menonait yang dilandasi kepada ajaran Isa bahwa ajaran yang dibawa oleh Isa sungguh menekankan kepada ajaran kasih sayang, yang intinya dalam ajaran kekeristenan memegang ajaran utama dalam istilah “Kasih” menurut agama Kristen. Hal ini dilandasi dalam Injil Matius 22 ayat 37-40 :”Selain kita harus mengasihi Tuhan Allah, kita juga harus mengasihi antar sesama, seperti mengasihi diri kita sendiri”. Dari ayat tersebut tercermin bahwa sesungguhnya ajaran kekeristenan dicirikan pada satu dasar landasan agama yang menekankan “cinta kasih dan anti kekerasan”. Ada beberapa butir penting tentang ajaran penolakan terhadap kekerasan. “Kamu telah mendengar firman : Mata ganti mata, gigi ganti gigi, Tetapi Aku berkata kepadamu : Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga pipi kirimu”. ( Matius pasal 5 ayat 38-39). Yang pada perinsip utamanya ajaran Yesus tidak membolehkan melawan kekerasan dengan kekerasan.

Beliau juga menambahkan sesungguhnya ajaran Menonait memisahkan antara urusan agama dengan urusan negara, akan tetapi dalam realitanya umat beragama ada dalam satu negara, sehingga umat beragama harus tunduk kepada aturan-aturan negara, apabila seseorang melakukan kekerasan untuk mempertahankan diri, dalam ajaran Menonait itu tidak dibenarkan, jadi kita harus mengembalikan kepada negara, dimana negara mempunyai kewajiban untuk mengayomi dan melindungi warga negaranya guna menciptakan keamanan dan ketertiban. Dimana negara mempunyai aturan-aturan hukum yang harus ditegakkan dan dijalankan oleh warga negaranya. Maka ajaran kami tetap berpegang pada ajaran Yesus yang mengajarkan ajaran “Cinta Kasih”. Kekerasan dalam lingkup agama kami, baik untuk menegakan hal-hal yang baik tidak dibenarkan, kekerasan dibolehkan hanya saja kekerasan itu dilakukan terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan, misalnya saja polisi berhak menembak penjahat pada saat-saat yang tepat, hal ini guna menjaga ketentraman.

Sedangkan dalam pandangan ajaran agama Hindu, yang diutarakan oleh bapa Basimin selaku tokoh umat Hindu di Yogyakarta, mengatakan bahwa di dalam ajaran Hindu sendiri kekerasan sama seperti ajaran-ajaran pada agama lain bahwa tindakan kekerasan tidak diperbolehkan sekalipun dilatar belakangi oleh alasan yang pasti. Konsepsi kekerasan dalam ajaran agama Hindu atau yang disebut dengan “Haimsah” tidak hanya membunuh akan tetapi menyakiti perasaan seseorang saja tidak diperbolehkan, karena agama Hindu mengajarkan tiga ajaran yang benar yakni : perbuatan yang benar, pikiran yang benar, dan ucapan yang benar. Tiga ajaran inilah yang mencakup kesempurnaan manusia apabila ajaran ini dijalankan, ia juga mengatakan bahwa tingkah laku seseorang dapat dilihat dari ucapannya. Guna menigntropeksi diri, agama Hindu mengajarkan umatnya untuk bertapa diri guna mencegah perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan kekerasan.

Lebih lanjut beliau mengatakan kekerasan boleh dilakukan apabila ada perintah secara langsung dari Tuhan, sebagaimana dikisahkan dalam cerita Mahabarata Yuda, yang mengharuskan Arjuna sebagai seorang ksatria yang diharuskan untuk membunuh keluarga dan saudara-saudaranya guna menegakan kebenaran. Hal ini bukan berarti Arjuna membunuh tanpa ada artinya, akan tetapi karma yang mengharuskan mereka untuk saling bermusuhan bahkan sampai saling membunuh antara Kurawa dengan Panca Pandawa. Dalam cerita ini Arjuna diperintahkan oleh Khrisna (Tuhan itu sendiri yang ber-reinkarnasi dalam bentuk manusia) untuk menumpas kejahatan dan demi tegaknya dharma.

Di dalam kitab umat Hindu dijelaskan bahwa selagi dunia ini dikuasai oleh adharma (perbuatan jahat) yang terus merajalela di dunia ini, “aku akan turun ke dunia dan menjelma sebagai manusia untuk melebur semua perilaku angkara murka, karena perilaku angkara murka tidak akan musnah selagi jasad manusia itu hidup”. Dalam kisah Mahabarata Yuda diatas sangat jelas, kekerasan boleh dilakukan asalkan dengan perintah Tuhan dan semata-mata untuk menegakan dharma. Selain itu beliau juga menjelaskan bahwa ajaran Hindu tidak memperbolehkan menggunakan kekerasan dalam hal mendidik anak, ia mengatakan membentak atau menghardik anak dalam agama Hindu tidak diperkenankan apalagi sampai dengan memukulnya.

Beralih kepada pandangan agama Budha yang diungkapkan Ibu Lusiana, di Wihara Boddhicita Yogyakarta. Ibu Lucia menuturkan bahwa kekerasan itu pada prinsipnya dilarang dan tidak dapat dibenarkan. Karena ajaran agama Budha sendiri melarang adanya kekerasan itu. Dimana dikatakan bahwa konsep kekerasan itu meliputi pikiran, ucapan serta fisik. Begitu juga dengan tindakan-tindakan tekanan secara psikis, dimana hal tersebut masuk dalam kategori kekerasan dalam hal ucapan, seperti yang telah diutarakan diatas itu dalam ajaran Budha tidak dibenarkan.Tindakan kekerasan dapat dibenarkan dalam keadaan membela diri dari serangan yang mengancam nyawa kita. Tetapi konteksnya adalah melakukan pembelaan terhadap diri kita, bukan dalam konteks untuk membalas.

Begitu juga dalam hal untuk mendidik anak. Apabila memang dirasa anak itu sudah tidak bisa diperingatkan dan sudah kelewat batas, maka perlu tindakan tegas untuk menyadarkannya maka tindakan-tindakan fisik diperbolehkan. Tetapi konteksnya bukan kekerasan semata-mata, tetapi kekerasan untuk mendidik. Misalnya saja ketika memang anak itu perlu dipukul oleh orang tuanya, tetapi pukulan itu tidak boleh sampai menimbulkan bekas atau luka serta harus di bagian-bagian yang tidak vital misalnya tangan, atau kaki, dan hal tersebut dilakukan semata-mata untuk mengingatkan si anak bukan untuk menyakitinya.

Pada prinsipnya tiap-tiap agama itu melarang kekerasan, karena dalam tiap-tiap agama sendiri menginginkan adanya kehidupan yang damai aman dan sejahtera di dunia ini. Dalam poin-poin ajaran tiap-tiap agama sebenarnya terkandung nilai-nilai luhur tentang perdamaian. Sehingga bukan suatu hal yang dibenarkan apabila ada oknum-oknum yang menanamkan tindakan-tindakan kekerasan itu berlandaskan atas nama agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar