Oleh: SangKodok
Sepuluh tahun sudah era reformasi berjalan di Indonesia berbagai macam partai politik tumbuh subur dan berkembang bak jamur di musim hujan, yang seakan-akan partai politik merupakan sebuah usaha baru, dari yang mulai agamis sampai nasionalis.Memang parpol merupakan salah satu tiang utama dalam setiap demokrasi. Parpol juga diidealkan sebagai wadah bagi pelembagaan kepemimpinan yang demokratis, media pendidikan politik bagi masyarakat, dan sebagai miniatur pluralitas masyarakat, partai juga berfungsi sebagai pengendali konflik Akan tetapi setelah sepuluh tahun kita berada di jalur reformasi dimana demokrasi sangat di junjung tinggi ada rasa ketidak percayaan pada diri saya pribadi kepada para elit politik maupun partai politik, saya menggangap bahwa partai politik hanya sebuah usaha bukan sebuah solusi yang diharpkan dapat membawa 220 juta lebhi masyarakat Indonesia kearah yang selam ini telah di cita-citakan oleh Pancasila dan UUD 1945.
Saya pribadi menilai bahwa partai politik pada saat ini tidak jauh sebagai beban yang dihadapkan kepada masyarakat, dan saya pribadi mengharapkan bukan hanya saya sendiri yang merasakan bahwa partai politik pada saat ini hanya menjadi beban ketimbang solusi, hal ini saya lihat dari prilaku dan performa partai politik. Pertama partai kita umumnya miskin visi tentang perubahan sehingga yang muncul akhirnya retorika dan slogan yang hampir sama bagi semua partai. Hampir semua partai bicara tentang persatuan, keadilan, pembangunan, dan kesejahteraan rakyat, tetapi tak pernah jelas bagi masyarakat, apa perbedaan konsep keadilan partai yang satu dengan lainnya. Begitu pula partai bicara demokrasi dan pemerintahan yang bersih, tetapi tidak punya agenda spesifik, operasional, dan implementatif tentang bagaimana demokrasi yang terkonsolidasi diwujudkan, dan korupsi diberantas. Akibatnya, yang berlangsung adalah kecenderungan politisi untuk bersembunyi di balik simbol kultural-ideologis serta retorika dan slogan yang bersifat "membodohi" ketimbang mencerdaskan masyarakat.
Kedua, merosotnya etika dan moralitas politik ke titik paling rendah menjadi kecenderungan yang paling memprihatinkan di balik realitas perilaku partai dewasa ini. Ketiadaan etika itu pula yang bisa menjelaskan fenomena maraknya kasus korupsi dan politik uang di kalangan partai, legislatif, dan eksekutif, di pusat dan daerah dewasa ini.
Ketiga, partai yang mestinya merupakan organisasi modern dan rasional berkembang menjadi semacam paguyuban bagi mobilitas vertikal para elite politik yang saling bersaing dalam mempersembahkan loyalitasnya terhadap sang pemimpin atau ketua umum partai. Tidak ada upaya melembagakan tradisi berorganisasi secara rasional, demokratis, dan bertanggung jawab karena tidak jarang keputusan dan pilihan politik ditentukan secara sepihak oleh segelintir elite atau bahkan seorang pemimpin partai. Konflik internal partai besar umumnya bersumber pada pelanggaran "aturan main" dan penafsiran subyektif AD/ART partai sehingga tiap saat para aktivis partai yang memihak kepentingan publik bisa disingkirkan atas nama "disiplin partai".
Keempat, kita bisa melihat pada hampir semua partai besar yang tengah menikmati kekuasaan saat ini lebhi mengedepankan berkembangnya kepemimpinan yang personal dan oligarkis seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mungkin merupakan contoh paling tepat karena hampir semua pilihan politik ke-dua partai ini yang pada akhirnya harus kembali atau berpulang kepada keputusan akhir Megawati bagi PDI-P dan Abdurrahman Wahid bagi PKB. Tak mengherankan jika penentuan calon kepala daerah, bupati, dan wali kota harus melalui "restu" ketua umum (PDI-P) atau ketua dewan syuro (PKB).
Jika kita bercermin pada sejarah, keteladanan yang telah ditunjukkan para elite pergerakan di masa lalu mungkin bisa menjadi dasar optimisme kita melembagakan kehidupan partai yang lebih etis, bermoral, dan bertanggung jawab. Seperti diketahui, partai pada era kolonial merupakan sebuah wadah pendidikan dan pencerdasan terhadap masyarakat dan bangsa dari pembodohan politik yang dilakukan kolonial. Organisasi partai pula yang menjadi tempat bagi para bapak bangsa memberikan kontribusi terbaik mereka, dalam rangka mencari dan menemukan identitas keindonesiaan maupun membebaskan bangsa dari kolonialisme. Meskipun sejak awal pertumbuhannya terpolarisasi secara ideologis, hal itu tidak mengurangi besarnya kontribusi dan peranan partai dalam memberi pencerahan politik bagi bangsa dan masyarakatnya.
Hampir semua tokoh penting bangsa kita tumbuh dan besar dari lingkungan organisasi pergerakan dan parpol. Soekarno, Moh Hatta, HOS Tjokroaminoto, Sutan Sjahrir, dan banyak lagi yang hampir tidak pernah berpikir tentang diri sendiri kecuali mengabdikan seluruh jiwa dan raganya bagi kejayaan Ibu Pertiwi. Tokoh pergerakan rela keluar-masuk bui atau dibuang dan diasingkan dari lingkungan keluarga dan masyarakatnya demi pembebasan dan kemerdekaan bangsanya.
Partai politik masih merupakan wadah perjuangan bagi banyak tokoh terbaik bangsa pada era Demokrasi Parlementer tahun 1950-an. Partai Sosialis Indonesia (PSI), meski tidak memperoleh suara signifikan dalam Pemilu 1955, merupakan wadah bagi para intelektual terkemuka yang berorientasi sosialisme-demokrasi pada masa itu. Begitu pula Partai Masyumi, menjadi wadah tokoh-tokoh terkemuka beraliran Islam, Partai Katolik bagi cendekiawan Katolik, dan PNI bagi tokoh-tokoh beraliran nasionalis.
Kehancuran partai politik di Indonesia berawal saat Soekarno mengintroduksi Demokrasi Terpimpin akhir tahun 1950-an, lalu dilanjutkan Soeharto selama sekitar 30 tahun. Otoritarianisme yang begitu panjang (1959-1998) bukan hanya membunuh setiap potensi kepemimpinan yang tumbuh dari bawah dan mewariskan sikap saling curiga dan prasangka buruk antar komponen masyarakat, tetapi juga virus oportunisme yang merajalela. Ironisnya, beraneka virus warisan rezim otoriter itu justru masih diwariskan pada partai-partai politik pada saat ini, dan mereka dengan banganya menggobral dan melantunkan kata-kata reformasi dan demokratisasi.
Karena itu, potret kusam partai di Indonesia dewasa ini bukanlah gejala yang berdiri sendiri. Secara mendasar dapat dikatakan, namun tetap perlu diperdebatkan kebenarannya, wajah partai dan politisi partai bisa jadi merupakan bagian dari carut-marut wajah bangsa. Sebab, dalam era transisi dewasa ini, perubahan menuju pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kepemimpinan yang lebih etis dan bertanggung jawab, serta demokrasi yang terkonsolidasi, tampaknya tak bisa dipercayakan sepenuhnya kepada partai dan politisi partai saja.
Diperlukan dukungan dan apresiasi masyarakat terhadap tiap ide dan gagasan pembaruan yang berorientasi perbaikan terus-menerus atas kehidupan bangsa. Ironisnya, dukungan dan tekanan publik bagi berlangsungnya perubahan politik ke arah yang lebih signifikan itu justru makin melemah selama beberapa tahun terakhir. Para mahasiswa demonstran, misalnya, tidak begitu tertarik isu pemilu yang sebenarnya jauh lebih strategis bagi masa depan bangsa ketimbang isu suksesi kepemimpinan yang sering ditumpangi kepentingan politik yang bisa membatalkan seluruh agenda reformasi dan demokratisasi.
Salah satu jalan keluar yang bisa ditawarkan bagi upaya peningkatan kualitas etika dan moralitas partai adalah mendorong kepedulian dan keterlibatan masyarakat yang lebih luas dalam segenap proses politik. Termasuk di dalamnya partisipasi masyarakat dalam meminimalkan kecurangan pemilu, melawan politik uang, "menghukum" partai dan politisi yang tidak bertanggung jawab dengan cara tidak memilihnya dan tentu saja membangun jaringan kerja sama di antara berbagai unsur masyarakat prodemokrasi itu sendiri. Toh, akhirnya masa depan demokrasi ada di tangan masyarakat, bukan partai.
Saya pribadi menilai bahwa partai politik pada saat ini tidak jauh sebagai beban yang dihadapkan kepada masyarakat, dan saya pribadi mengharapkan bukan hanya saya sendiri yang merasakan bahwa partai politik pada saat ini hanya menjadi beban ketimbang solusi, hal ini saya lihat dari prilaku dan performa partai politik. Pertama partai kita umumnya miskin visi tentang perubahan sehingga yang muncul akhirnya retorika dan slogan yang hampir sama bagi semua partai. Hampir semua partai bicara tentang persatuan, keadilan, pembangunan, dan kesejahteraan rakyat, tetapi tak pernah jelas bagi masyarakat, apa perbedaan konsep keadilan partai yang satu dengan lainnya. Begitu pula partai bicara demokrasi dan pemerintahan yang bersih, tetapi tidak punya agenda spesifik, operasional, dan implementatif tentang bagaimana demokrasi yang terkonsolidasi diwujudkan, dan korupsi diberantas. Akibatnya, yang berlangsung adalah kecenderungan politisi untuk bersembunyi di balik simbol kultural-ideologis serta retorika dan slogan yang bersifat "membodohi" ketimbang mencerdaskan masyarakat.
Kedua, merosotnya etika dan moralitas politik ke titik paling rendah menjadi kecenderungan yang paling memprihatinkan di balik realitas perilaku partai dewasa ini. Ketiadaan etika itu pula yang bisa menjelaskan fenomena maraknya kasus korupsi dan politik uang di kalangan partai, legislatif, dan eksekutif, di pusat dan daerah dewasa ini.
Ketiga, partai yang mestinya merupakan organisasi modern dan rasional berkembang menjadi semacam paguyuban bagi mobilitas vertikal para elite politik yang saling bersaing dalam mempersembahkan loyalitasnya terhadap sang pemimpin atau ketua umum partai. Tidak ada upaya melembagakan tradisi berorganisasi secara rasional, demokratis, dan bertanggung jawab karena tidak jarang keputusan dan pilihan politik ditentukan secara sepihak oleh segelintir elite atau bahkan seorang pemimpin partai. Konflik internal partai besar umumnya bersumber pada pelanggaran "aturan main" dan penafsiran subyektif AD/ART partai sehingga tiap saat para aktivis partai yang memihak kepentingan publik bisa disingkirkan atas nama "disiplin partai".
Keempat, kita bisa melihat pada hampir semua partai besar yang tengah menikmati kekuasaan saat ini lebhi mengedepankan berkembangnya kepemimpinan yang personal dan oligarkis seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mungkin merupakan contoh paling tepat karena hampir semua pilihan politik ke-dua partai ini yang pada akhirnya harus kembali atau berpulang kepada keputusan akhir Megawati bagi PDI-P dan Abdurrahman Wahid bagi PKB. Tak mengherankan jika penentuan calon kepala daerah, bupati, dan wali kota harus melalui "restu" ketua umum (PDI-P) atau ketua dewan syuro (PKB).
Jika kita bercermin pada sejarah, keteladanan yang telah ditunjukkan para elite pergerakan di masa lalu mungkin bisa menjadi dasar optimisme kita melembagakan kehidupan partai yang lebih etis, bermoral, dan bertanggung jawab. Seperti diketahui, partai pada era kolonial merupakan sebuah wadah pendidikan dan pencerdasan terhadap masyarakat dan bangsa dari pembodohan politik yang dilakukan kolonial. Organisasi partai pula yang menjadi tempat bagi para bapak bangsa memberikan kontribusi terbaik mereka, dalam rangka mencari dan menemukan identitas keindonesiaan maupun membebaskan bangsa dari kolonialisme. Meskipun sejak awal pertumbuhannya terpolarisasi secara ideologis, hal itu tidak mengurangi besarnya kontribusi dan peranan partai dalam memberi pencerahan politik bagi bangsa dan masyarakatnya.
Hampir semua tokoh penting bangsa kita tumbuh dan besar dari lingkungan organisasi pergerakan dan parpol. Soekarno, Moh Hatta, HOS Tjokroaminoto, Sutan Sjahrir, dan banyak lagi yang hampir tidak pernah berpikir tentang diri sendiri kecuali mengabdikan seluruh jiwa dan raganya bagi kejayaan Ibu Pertiwi. Tokoh pergerakan rela keluar-masuk bui atau dibuang dan diasingkan dari lingkungan keluarga dan masyarakatnya demi pembebasan dan kemerdekaan bangsanya.
Partai politik masih merupakan wadah perjuangan bagi banyak tokoh terbaik bangsa pada era Demokrasi Parlementer tahun 1950-an. Partai Sosialis Indonesia (PSI), meski tidak memperoleh suara signifikan dalam Pemilu 1955, merupakan wadah bagi para intelektual terkemuka yang berorientasi sosialisme-demokrasi pada masa itu. Begitu pula Partai Masyumi, menjadi wadah tokoh-tokoh terkemuka beraliran Islam, Partai Katolik bagi cendekiawan Katolik, dan PNI bagi tokoh-tokoh beraliran nasionalis.
Kehancuran partai politik di Indonesia berawal saat Soekarno mengintroduksi Demokrasi Terpimpin akhir tahun 1950-an, lalu dilanjutkan Soeharto selama sekitar 30 tahun. Otoritarianisme yang begitu panjang (1959-1998) bukan hanya membunuh setiap potensi kepemimpinan yang tumbuh dari bawah dan mewariskan sikap saling curiga dan prasangka buruk antar komponen masyarakat, tetapi juga virus oportunisme yang merajalela. Ironisnya, beraneka virus warisan rezim otoriter itu justru masih diwariskan pada partai-partai politik pada saat ini, dan mereka dengan banganya menggobral dan melantunkan kata-kata reformasi dan demokratisasi.
Karena itu, potret kusam partai di Indonesia dewasa ini bukanlah gejala yang berdiri sendiri. Secara mendasar dapat dikatakan, namun tetap perlu diperdebatkan kebenarannya, wajah partai dan politisi partai bisa jadi merupakan bagian dari carut-marut wajah bangsa. Sebab, dalam era transisi dewasa ini, perubahan menuju pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kepemimpinan yang lebih etis dan bertanggung jawab, serta demokrasi yang terkonsolidasi, tampaknya tak bisa dipercayakan sepenuhnya kepada partai dan politisi partai saja.
Diperlukan dukungan dan apresiasi masyarakat terhadap tiap ide dan gagasan pembaruan yang berorientasi perbaikan terus-menerus atas kehidupan bangsa. Ironisnya, dukungan dan tekanan publik bagi berlangsungnya perubahan politik ke arah yang lebih signifikan itu justru makin melemah selama beberapa tahun terakhir. Para mahasiswa demonstran, misalnya, tidak begitu tertarik isu pemilu yang sebenarnya jauh lebih strategis bagi masa depan bangsa ketimbang isu suksesi kepemimpinan yang sering ditumpangi kepentingan politik yang bisa membatalkan seluruh agenda reformasi dan demokratisasi.
Salah satu jalan keluar yang bisa ditawarkan bagi upaya peningkatan kualitas etika dan moralitas partai adalah mendorong kepedulian dan keterlibatan masyarakat yang lebih luas dalam segenap proses politik. Termasuk di dalamnya partisipasi masyarakat dalam meminimalkan kecurangan pemilu, melawan politik uang, "menghukum" partai dan politisi yang tidak bertanggung jawab dengan cara tidak memilihnya dan tentu saja membangun jaringan kerja sama di antara berbagai unsur masyarakat prodemokrasi itu sendiri. Toh, akhirnya masa depan demokrasi ada di tangan masyarakat, bukan partai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar