Oleh: SangKodok
Gunung Lawu memiliki arti penting bagi warga Hindu di Nusantara
Selain masih menyimpan peninggalan candi Hindu,
juga diyakini sebagai tempat moksa Raja Majapahit,
Gunung Lawu memiliki arti penting bagi warga Hindu di Nusantara
Selain masih menyimpan peninggalan candi Hindu,
juga diyakini sebagai tempat moksa Raja Majapahit,
Indonesia khususnya di daerah Pulau Jawa, lebih-lebih di wilayah Jawa Tengah, Solo, dan Yogyakarta, dikenal sebagai tempat-tempat situs purbakala berupa candi. Bangunan purba ini ada yang berlokasi di daratan dan tak sedikit yang dibangun di daerah pegunungan, seperti Candi Sukuh dan Candi Ceto.
Candi Sukuh
Candi Sukuh
Mungkin dari kita belum banyak menyadari bahkan baru mendengar nama candi sukuh, Candi ini terletak di lereng Gunung Lawu, tepatnya terletak di desa Sukuh, kelurahan Berjo, Ngargoyoso, Karanganyar, Jawa Tengah. Kompleks Candi Sukuh berada di ketinggian sekitar kurang lebih 910 meter diatas permukaan laut dan berjarak sekitar 27 km dari pusat kota Karanganyar. Candi Sukuh berbeda dengan candi-candi yang ada di pulau jawa dikarenakan struktur dari bangunan candi tersebut yang menyerupai bangunan suku Maya di Meksiko atau suku Inca di Peru, serta relif-relif dan ornament yang ada pada dinding candi yang menggambarkan orang bersenggama secara vulgar, serta terpampang dengan jelas relief yang menggambarkan secara utuh alat kelamin pria (penis) yang sedang ereksi, berhadap-hadapan dengan alat kelamin wanita (vagina). Pantas apabila masyarakat setempat menyebut Candi Sukuh sebagai Candi Rusuh (saru atau tabu).
Menurut sejarah candi sukuh dibangun sekitar abad ke-15 oleh masyarakat Hindu Tantrayana. Dimana didalam catatan sejarah, candi ini merupakan candi termuda dalam sejarah pembangunan candi di Nusantara. Candi ini dibangun pada masa akhir runtuhnya Kerajaan Majapahit yang menganut ajaran Hindu. Candi Sukuh ditemukan sekitar tahun 1815 oleh seorang Residen Surakarta yang bernama Johnson, pada masa pemerintahan Gubernur Raffles.
Struktur bangunan Cndi Sukuh
Candi sukuh terdiri dari tiga teras, dengan teras pertama adalah teras yang paling rendah, diikuti teras kedua dan ketiga yang letaknya makin tinggi, sama seperti candi-candi yang lain semakin tinggi tingkatannya maka semaki suci atau sakral. Masing-masing teras dihubungkan oleh anak tangga dan gapura yang berfungsi sebagai pintu masuk teras.
Pada teras pertama terdapat gapura utama dimana gapura tersebut merupakan gapura terbesar yang mempunyai bentuk arsitektur khas, dimana dinding disusun tidak tegak lurus (vertikal), tetapi miring, sehingga sepintas mengingatkan pada bentuk trapesium dengan atap di atasnya. Pada gapura pertama ini kita bisa menjumpai relief-relief yang membentuk rangkaian gambar yang mengandung cerita dimana pada sisi gapura sebelah utara (kanan) ini terdapat sebuah relif manusia ditelan raksasa. Sebuah sangkala yang dalam bahasa Jawa berbunyi “gapura buta abara wong” yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gapura sang raksasa memangsa manusia”. Sedangkan pada sisi gapura sebelah selatan (kiri) juga terdapat relif raksasa yang berlari sambil menggigit ekor ular. Sebuah sangkala yang dalam bahasa Jawa berbunyi “gapura buta anahut buntut” yang artinya dalam bahasa Indonesia “Gapura raksasa menggigit ekor ular”, yang merujuk pada sebuah tahun, yakni 1359 Saka atau 1437 Masehi.
Masih pada halaman teras pertama dimana saat kita menaiki anak tangga dalam lorong gapura, kita akan disuguhi relief yang sangat vulgar yang terpahat di lantai. Relief ini menggambarkan alat kelamin pria (penis) yang berhadapan dengan alat kelamin wanita (vagina). Inilah yang kemudian menjadi cari khas dari Candi Sukuh. Konon menurut cerita yang berkembang dimasyarakat sekitar candi sukuh, apabila seorang suami yang ingin menguji kesetiaan istrinya, dia akan meminta sang istri untuk melangkahi relief ini. Jika kain kebaya yang dikenakan oleh sang istri robek, maka dia merupakan tipe isteri yang setia dan taat pada perintah suaminya. Tapi sebaliknya, jika kainnya terlepas, sang isteri diyakini telah berselingkuh. Ceriteranya memang ada, tetapi faktanya mungkin tinggal cerita?
Meskipun memberi kesan porno, relief tersebut sesungguhnya mengandung makna yang mendalam, karna tidaklah mungkin di tempat suci yang merupakan tempat peribadatan terdapat lambang-lambang yang porno. Relief tersebut sengaja dipahat di lantai pintu masuk dengan maksud agar siapa saja yang melangkahi relief itu segala kotoran yang melekat di badan menjadi sirna. Relief ini mirip lingga-yoni sebuah lambang kesuburan dalam agama Hindu yang melambangkan Dewa Syiwa dengan istrinya (Parwati).
Memasuki teras kedua, kita akan menjumpai sebuah gapura yang ukurannya lebhi kecil dari pada ukuran gapura pertama, akan tetapi sangat disayangkan gapura kedua ini kondisinya sangat memperihatinkan dimana kondisi gapura tersebut dalam keadaan rusak dan tidak beratap lagi, bahkan patung penjaga pintu atau bisa disebut dwarapala yang biasanya terdapat di kanan dan kiri gapura kondisinya sangat memperhatinkan, patung tersebut rusak dan sudah tidak jelas bentuknya. Namun pada gapura ini terdapat sebuah sangkala yang dalam bahasa Jawa berbunyi “gajah wiku anahut buntut”, yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gajah pendeta menggigit ekor”, yang merujuk pada sebuah tahun 1378 Saka atau tahun 1456 Masehi. Jadi jika bilangan ini benar, maka ada selisih hampir duapuluh tahun dengan gapura di teras pertama.
Di teras kedua ini juga terdapat semacam dinding bangunan dengan pahatan relief, diantaranya relief yang menggambarkan seorang wanita berdiri menghadapi alat peniup api pada pandai besi. Selain itu juga terdapat relif-relif yang menggambarkan berbagai peristiwa sosial yang menonjol pada saat pembangunan candi ini, ada pula relief yang menggambarkan seorang pandai besi yakni gambar seorang laki-laki yang sedang duduk dengan kaki selonjor yang di depannya terletak senjata-senjata tajam seperti keris, tombak dan pisau.
Saat memasuki bagian teras ke tiga yang terletak paling belakang dan paling atas, dan dianggap teras yang paling suci, terdapat beberapa bangunan, termasuk bangunan induk yang berbentuk seperti piramid terpancung dan dianggap yang paling suci. Meski bangunan ini dianggap paling penting dan suci, akan tetapi tidak banyak peninggalan yang terdapat di dalam piramid ini, Bangunan ini tingginya kurang lebih enam meter, dan diatasnya merupakan dataran yang sekarang sudah kosong, kecuali batu berlubang persegi yang bentuknya sepaerti yoni, terletak di tengah-tengah dataran. Selain itu disekitar bangunan utama candi Sukuh terdapat pula patung-patung, batu-batu candi serta relief yang berbentuk binatang dan relief cerita Cudhamala yang merupakan sebutan bagi salah satu tokoh Pandawa.
Menurut sejarah candi sukuh dibangun sekitar abad ke-15 oleh masyarakat Hindu Tantrayana. Dimana didalam catatan sejarah, candi ini merupakan candi termuda dalam sejarah pembangunan candi di Nusantara. Candi ini dibangun pada masa akhir runtuhnya Kerajaan Majapahit yang menganut ajaran Hindu. Candi Sukuh ditemukan sekitar tahun 1815 oleh seorang Residen Surakarta yang bernama Johnson, pada masa pemerintahan Gubernur Raffles.
Struktur bangunan Cndi Sukuh
Candi sukuh terdiri dari tiga teras, dengan teras pertama adalah teras yang paling rendah, diikuti teras kedua dan ketiga yang letaknya makin tinggi, sama seperti candi-candi yang lain semakin tinggi tingkatannya maka semaki suci atau sakral. Masing-masing teras dihubungkan oleh anak tangga dan gapura yang berfungsi sebagai pintu masuk teras.
Pada teras pertama terdapat gapura utama dimana gapura tersebut merupakan gapura terbesar yang mempunyai bentuk arsitektur khas, dimana dinding disusun tidak tegak lurus (vertikal), tetapi miring, sehingga sepintas mengingatkan pada bentuk trapesium dengan atap di atasnya. Pada gapura pertama ini kita bisa menjumpai relief-relief yang membentuk rangkaian gambar yang mengandung cerita dimana pada sisi gapura sebelah utara (kanan) ini terdapat sebuah relif manusia ditelan raksasa. Sebuah sangkala yang dalam bahasa Jawa berbunyi “gapura buta abara wong” yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gapura sang raksasa memangsa manusia”. Sedangkan pada sisi gapura sebelah selatan (kiri) juga terdapat relif raksasa yang berlari sambil menggigit ekor ular. Sebuah sangkala yang dalam bahasa Jawa berbunyi “gapura buta anahut buntut” yang artinya dalam bahasa Indonesia “Gapura raksasa menggigit ekor ular”, yang merujuk pada sebuah tahun, yakni 1359 Saka atau 1437 Masehi.
Masih pada halaman teras pertama dimana saat kita menaiki anak tangga dalam lorong gapura, kita akan disuguhi relief yang sangat vulgar yang terpahat di lantai. Relief ini menggambarkan alat kelamin pria (penis) yang berhadapan dengan alat kelamin wanita (vagina). Inilah yang kemudian menjadi cari khas dari Candi Sukuh. Konon menurut cerita yang berkembang dimasyarakat sekitar candi sukuh, apabila seorang suami yang ingin menguji kesetiaan istrinya, dia akan meminta sang istri untuk melangkahi relief ini. Jika kain kebaya yang dikenakan oleh sang istri robek, maka dia merupakan tipe isteri yang setia dan taat pada perintah suaminya. Tapi sebaliknya, jika kainnya terlepas, sang isteri diyakini telah berselingkuh. Ceriteranya memang ada, tetapi faktanya mungkin tinggal cerita?
Meskipun memberi kesan porno, relief tersebut sesungguhnya mengandung makna yang mendalam, karna tidaklah mungkin di tempat suci yang merupakan tempat peribadatan terdapat lambang-lambang yang porno. Relief tersebut sengaja dipahat di lantai pintu masuk dengan maksud agar siapa saja yang melangkahi relief itu segala kotoran yang melekat di badan menjadi sirna. Relief ini mirip lingga-yoni sebuah lambang kesuburan dalam agama Hindu yang melambangkan Dewa Syiwa dengan istrinya (Parwati).
Memasuki teras kedua, kita akan menjumpai sebuah gapura yang ukurannya lebhi kecil dari pada ukuran gapura pertama, akan tetapi sangat disayangkan gapura kedua ini kondisinya sangat memperihatinkan dimana kondisi gapura tersebut dalam keadaan rusak dan tidak beratap lagi, bahkan patung penjaga pintu atau bisa disebut dwarapala yang biasanya terdapat di kanan dan kiri gapura kondisinya sangat memperhatinkan, patung tersebut rusak dan sudah tidak jelas bentuknya. Namun pada gapura ini terdapat sebuah sangkala yang dalam bahasa Jawa berbunyi “gajah wiku anahut buntut”, yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gajah pendeta menggigit ekor”, yang merujuk pada sebuah tahun 1378 Saka atau tahun 1456 Masehi. Jadi jika bilangan ini benar, maka ada selisih hampir duapuluh tahun dengan gapura di teras pertama.
Di teras kedua ini juga terdapat semacam dinding bangunan dengan pahatan relief, diantaranya relief yang menggambarkan seorang wanita berdiri menghadapi alat peniup api pada pandai besi. Selain itu juga terdapat relif-relif yang menggambarkan berbagai peristiwa sosial yang menonjol pada saat pembangunan candi ini, ada pula relief yang menggambarkan seorang pandai besi yakni gambar seorang laki-laki yang sedang duduk dengan kaki selonjor yang di depannya terletak senjata-senjata tajam seperti keris, tombak dan pisau.
Saat memasuki bagian teras ke tiga yang terletak paling belakang dan paling atas, dan dianggap teras yang paling suci, terdapat beberapa bangunan, termasuk bangunan induk yang berbentuk seperti piramid terpancung dan dianggap yang paling suci. Meski bangunan ini dianggap paling penting dan suci, akan tetapi tidak banyak peninggalan yang terdapat di dalam piramid ini, Bangunan ini tingginya kurang lebih enam meter, dan diatasnya merupakan dataran yang sekarang sudah kosong, kecuali batu berlubang persegi yang bentuknya sepaerti yoni, terletak di tengah-tengah dataran. Selain itu disekitar bangunan utama candi Sukuh terdapat pula patung-patung, batu-batu candi serta relief yang berbentuk binatang dan relief cerita Cudhamala yang merupakan sebutan bagi salah satu tokoh Pandawa.
Candi Ceto
Candi Ceto berada tidak jauh dari komplek Candi Sukuh, tepatnya berada di Kelurahan Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Berada di sekitar kawasan Candi Ceto, kita dapat merasakan suasan seperti di kawasan Pulau Dewata, hal ini dikarnakan suasana tempat dan banguna candi ini yang menyerupai pura yakni tempat peribadatan agama Hindu. Candi yang terletak kurang lebih diketinggian 1.400 meter dari atas permukaan laut ini selain digunakan sebagai obyek wisata juga di pergunakan sebagai tempat peribadatan khususnya masyarakat sekitar candi yang memang mayoritas beragama Hindu, dan tak jarang pula umat Hindu dari berbagai penjuru negri ini kerap kali datang untuk merayakan hari besar keagamaan. Misalkan, pada malam Jumat Kliwon orang-orang beramai-ramai ke candi ceto guna mengantarkan sesaji sekaligus menjalankan ritual tapa brata. Begitu pula di saat hari Nyepi, umat Hindu di Karanganyar memilih melakukan tapa brata penyepian di area candi. Sama seperti tempat-tempat peribadatan agama lain candi ceto sangat disucikan oleh umat Hindu. Tidak sembarang orang atau wisatawan baik asing maupun domestik diizinkan masuk, lebih-lebih mereka yang sedang datang bulan. Masyarakat sekitar mempercayai apabila larangan tersebut dilanggar maka akan berdampak buruk bagi si pelanggar tersebut.
Begitu penting arti kehadiran Candi Ceto beserta Gunung Lawu bagi umat Hindu di Karanganyar, bahkan umat Hindu di Nusantara, mengingat bangunan candi di wilayah ini, merupakan candi Hindu peninggalan sisa-sisa kerajaan Majapahit. Di Candi Ceto juga banyak tersimpan arca-arca yang bercerita tentang Samuderamanthana dan Garudeya, satu kisah yang diambil dari mitos agama Hindu. Ada pula patung Dewi Saraswati yang merupakan simbol kebijaksanaan yang berhiaskan peralatan sembahyang. Bahkan cerita yang berkembang di masyarakat Karanganyar dan sekitarnya, Raja Majapahit, Prabhu Brawijaya V, sebelum moksa terlebih dahulu meruwat diri di Candi Sukuh yang berada di deretan bawah Candi Ceto. Usai mensucikan diri secara alam niskala, barulah sang raja mengakhiri hidupnya dengan jalan moksa di Candi Ceto. Ini memang sebuah kisah lama yang hingga kini tetap diyakini kebenarannya oleh warga Karanganyar dan sekitarnya. Lebih-lebih di area candi, terutama pada halaman delapan kita dapat menemukan arca Sabda Palon, tokoh penting dalam babak akhir Kerajaan Majapahit.
Dari sisi arsitektur, candi ini mengingatkan pada kebudayaan Maya dan Aztec kuno di Amerika Tengah. Bangunannya berbentuk punden berundak-undak, seperti halnya Candi Sukuh. Semakin ke belakang maka semakin bertambah tinggi dan sekaligus berarti semakin sakral atau suci. Secara filosofis posisi tempat suci seperti ini menyiratkan keyakinan bahwa gunung adalah suci dan arwah nenek moyang berada di gunung. Kepercayaan seperti ini telah tumbuh dan berkembang lama, sebelum agama Hindu dan Budha berkembang di negeri ini. Keyakinan masyarakat akan posisi gunung sebagai tempat yang suci mencapai puncaknya pada masa kejayaan kerajaan Majapahit. Pada zaman ini, orientasi bangunan suci bukan lagi ke timur-barat, melainkan berpatokan pada gunung. Candi Ceto terbagi ke dalam tiga halaman, mengikuti konsep trimandala (hulu, tengah, dan hilir) dan terdapat duabelas teras. Masing-masing teras ditandai dengan ciri-ciri tertentu, diantaranya ada arca dan relief yang melambangkan ajaran Hindu.
Pada halaman pertama (bawah) terdapat pintu masuk cukup tinggi. Di sini bisa ditemukan dua arca laki-laki yang sedang duduk bersimpuh menghadap ke arah barat, serta satu arca perempuan duduk bersimpuh menghadap ke timur. Teras berikutnya, ditandai dengan tangga masuk dan pada halaman tengah terdapat arca laki-laki. Pada teras ketiga ada bangunan gapura (candi bentar) lumrahnya tempat suci di Bali, dan di teras empat juga terdapat arca laki-laki. Untuk menuju teras lima, mesti melewati tangga masuk dua buah undakan dan di sebelah utara (kiri) ada punden berundak. Bangunan tua itu ditutupi sebuah bangunan kayu beratapkan ijuk. Masyarakat turunan Gunung Lawu menyebut punden berundak itu dengan nama Krincing Wesi serta dipercaya sebagai penunggu kawasan Ceto. Tiap enam bulan, pada hari Selasa Kliwon, di halaman punden digelar satu ritus suci upacara Madasiya. Ritual yang sesajiannya bersaranakan nasi tumpeng, buah, bunga, air, dan dupa tersebut memiliki makna warga Desa Ceto dan sekitarnya menyampaikan rasa terima kasih sekaligus memohon agar Krincing Wesi tetap menjaga keselamatan mereka.
Teras enam tak ada peninggalan arkeologi. Memasuki teras ketujuh, pada bagian selatan gapura terdapat tulisan “peling pedamel irikang bu, ku tirta sunya hawaki, ray a hilang, saka kalanya wiku, goh anahut iku 1397” yang artinya “peringatan pembuatan buku tirta sunya badannya hilang tahun 1397 Saka”. Bila berpijak pada angka tahun yang tertera pada teras ketujuh tersebut, berarti pada tahun 1397 saka atau pada tahun 1475 Masehi atau pada abad ke-15, Candi Ceto telah berdiri kukuh. Masih pada pintu gerbang teras tujuh, pada pintu masuk gapura, di kanan kirinya terdapat arca manusia menghadap ke timur. Sedangkan di halaman tengah terdapat phallus vulva (lingga- yoni) yang dihiasi pahatan cicak, ular, katak, kadal, mimi, ketam, dan belut. Jika dilihat dari konsep ajaran Hindu, simbol ini merupakan wujud penyatuan unsur laki dan perempuan, lambang lingga-yoni sekaligus sebagai simbol kesuburan. Sedangkan dari sudut pandang megalitik, simbol phallus vulva sebagai wahana pemujaan terhadap arwah nenek moyang, roh leluhur yang diistanakan di gunung. Di sebelah timurnya ada tiga buah lingkaran sinar, yang di bagian bawahnya terdapat arca kura-kura di atas burung garuda yang sedang mengembangkan sayapnya. Pada sisi kiri dan kanan arca terdapat tumpukan batu dan di sebelah timurnya terdapat arca laki-laki sedang duduk menghadap ke barat. Di areal ini ada pula arca manusia berdiri menghadap barat, menggambarkan Dwarapala.
Teras delapan dilengkapi rilief kisah Adiparwa serta relief kisah Sudamala serta dua arca Dwarapala. Di teras sembilan dan sepuluh dilengkapi pendopo. Pada teras sebelas, selain ada pendopo, juga ditemukan arca Nayagenggong, yang memiliki kaitan erat dengan kisah Sabda Palon. Sedangkan arca Sabda Palon sendiri ditemukan pada teras duabelas. Di halaman paling atas, yang ditandai dengan gapura masuk dan terdapat bangunan piramida terpancung atau lebih dikenal dengan sebutan trapezium. Jika diteliti lebih mendalam, makna simbolik pahatan-pahatan yang tergambarkan di Candi Ceto itu merupakan simbol kesuburan, mohon kesuburan dan kesejahteraan.
Begitu penting arti kehadiran Candi Ceto beserta Gunung Lawu bagi umat Hindu di Karanganyar, bahkan umat Hindu di Nusantara, mengingat bangunan candi di wilayah ini, merupakan candi Hindu peninggalan sisa-sisa kerajaan Majapahit. Di Candi Ceto juga banyak tersimpan arca-arca yang bercerita tentang Samuderamanthana dan Garudeya, satu kisah yang diambil dari mitos agama Hindu. Ada pula patung Dewi Saraswati yang merupakan simbol kebijaksanaan yang berhiaskan peralatan sembahyang. Bahkan cerita yang berkembang di masyarakat Karanganyar dan sekitarnya, Raja Majapahit, Prabhu Brawijaya V, sebelum moksa terlebih dahulu meruwat diri di Candi Sukuh yang berada di deretan bawah Candi Ceto. Usai mensucikan diri secara alam niskala, barulah sang raja mengakhiri hidupnya dengan jalan moksa di Candi Ceto. Ini memang sebuah kisah lama yang hingga kini tetap diyakini kebenarannya oleh warga Karanganyar dan sekitarnya. Lebih-lebih di area candi, terutama pada halaman delapan kita dapat menemukan arca Sabda Palon, tokoh penting dalam babak akhir Kerajaan Majapahit.
Dari sisi arsitektur, candi ini mengingatkan pada kebudayaan Maya dan Aztec kuno di Amerika Tengah. Bangunannya berbentuk punden berundak-undak, seperti halnya Candi Sukuh. Semakin ke belakang maka semakin bertambah tinggi dan sekaligus berarti semakin sakral atau suci. Secara filosofis posisi tempat suci seperti ini menyiratkan keyakinan bahwa gunung adalah suci dan arwah nenek moyang berada di gunung. Kepercayaan seperti ini telah tumbuh dan berkembang lama, sebelum agama Hindu dan Budha berkembang di negeri ini. Keyakinan masyarakat akan posisi gunung sebagai tempat yang suci mencapai puncaknya pada masa kejayaan kerajaan Majapahit. Pada zaman ini, orientasi bangunan suci bukan lagi ke timur-barat, melainkan berpatokan pada gunung. Candi Ceto terbagi ke dalam tiga halaman, mengikuti konsep trimandala (hulu, tengah, dan hilir) dan terdapat duabelas teras. Masing-masing teras ditandai dengan ciri-ciri tertentu, diantaranya ada arca dan relief yang melambangkan ajaran Hindu.
Pada halaman pertama (bawah) terdapat pintu masuk cukup tinggi. Di sini bisa ditemukan dua arca laki-laki yang sedang duduk bersimpuh menghadap ke arah barat, serta satu arca perempuan duduk bersimpuh menghadap ke timur. Teras berikutnya, ditandai dengan tangga masuk dan pada halaman tengah terdapat arca laki-laki. Pada teras ketiga ada bangunan gapura (candi bentar) lumrahnya tempat suci di Bali, dan di teras empat juga terdapat arca laki-laki. Untuk menuju teras lima, mesti melewati tangga masuk dua buah undakan dan di sebelah utara (kiri) ada punden berundak. Bangunan tua itu ditutupi sebuah bangunan kayu beratapkan ijuk. Masyarakat turunan Gunung Lawu menyebut punden berundak itu dengan nama Krincing Wesi serta dipercaya sebagai penunggu kawasan Ceto. Tiap enam bulan, pada hari Selasa Kliwon, di halaman punden digelar satu ritus suci upacara Madasiya. Ritual yang sesajiannya bersaranakan nasi tumpeng, buah, bunga, air, dan dupa tersebut memiliki makna warga Desa Ceto dan sekitarnya menyampaikan rasa terima kasih sekaligus memohon agar Krincing Wesi tetap menjaga keselamatan mereka.
Teras enam tak ada peninggalan arkeologi. Memasuki teras ketujuh, pada bagian selatan gapura terdapat tulisan “peling pedamel irikang bu, ku tirta sunya hawaki, ray a hilang, saka kalanya wiku, goh anahut iku 1397” yang artinya “peringatan pembuatan buku tirta sunya badannya hilang tahun 1397 Saka”. Bila berpijak pada angka tahun yang tertera pada teras ketujuh tersebut, berarti pada tahun 1397 saka atau pada tahun 1475 Masehi atau pada abad ke-15, Candi Ceto telah berdiri kukuh. Masih pada pintu gerbang teras tujuh, pada pintu masuk gapura, di kanan kirinya terdapat arca manusia menghadap ke timur. Sedangkan di halaman tengah terdapat phallus vulva (lingga- yoni) yang dihiasi pahatan cicak, ular, katak, kadal, mimi, ketam, dan belut. Jika dilihat dari konsep ajaran Hindu, simbol ini merupakan wujud penyatuan unsur laki dan perempuan, lambang lingga-yoni sekaligus sebagai simbol kesuburan. Sedangkan dari sudut pandang megalitik, simbol phallus vulva sebagai wahana pemujaan terhadap arwah nenek moyang, roh leluhur yang diistanakan di gunung. Di sebelah timurnya ada tiga buah lingkaran sinar, yang di bagian bawahnya terdapat arca kura-kura di atas burung garuda yang sedang mengembangkan sayapnya. Pada sisi kiri dan kanan arca terdapat tumpukan batu dan di sebelah timurnya terdapat arca laki-laki sedang duduk menghadap ke barat. Di areal ini ada pula arca manusia berdiri menghadap barat, menggambarkan Dwarapala.
Teras delapan dilengkapi rilief kisah Adiparwa serta relief kisah Sudamala serta dua arca Dwarapala. Di teras sembilan dan sepuluh dilengkapi pendopo. Pada teras sebelas, selain ada pendopo, juga ditemukan arca Nayagenggong, yang memiliki kaitan erat dengan kisah Sabda Palon. Sedangkan arca Sabda Palon sendiri ditemukan pada teras duabelas. Di halaman paling atas, yang ditandai dengan gapura masuk dan terdapat bangunan piramida terpancung atau lebih dikenal dengan sebutan trapezium. Jika diteliti lebih mendalam, makna simbolik pahatan-pahatan yang tergambarkan di Candi Ceto itu merupakan simbol kesuburan, mohon kesuburan dan kesejahteraan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar