Oleh: SangKodok
Seorang kawan bertanya apa itu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan?
Kebebasan beragama merupakan satu issue yang masih baru, dimana issue ini masih memerlukan proses pengertian dari kalangan para pemuka agama yang ternyata praktek-prakteknya masih sangat jauh dari apa yang di maksud dengan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan itu sendiri. Definisi KBB sangat penting, dimana dalam setiap ajaran agama tak terkecuali agama Islam KBB sangat dijamin, tapi hanya sebatas antar umat beragama dan sebatas orang tersebut tidak keluar dari ajarannya (murtad). Istilah Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan muncul pertama kali dari para pejuang-pejuang hak asasi manusia, bukan dari para pemuka-pemuka agama, dimana Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan bisa dikatakan merupakan sebuah pengalaman kemanusian manusia untuk selalu menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak dasar dari sesorang untuk bebas menentukan agama sesuai dengan keyakinannya, tak terkecuali untuk tidak beragama.
Jika kita mengacu pada Konstitusi dan sejumlah Undang-Undang yang ada di Indonesia, maka kita harus memaknai bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan kebebasan setiap warga negara untuk memilih dan atau menentukan agama dan kepercayaan yang dipeluknya, serta kebebasan melaksanakan ibadah menurut agama dan keyakinanya masing-masing. Pada umumnya suka atau tidak suka kita memilih agama bukan karena sebuah pilihan, melainkan karna faktor yang paling mendasar yakni orang tua. Sangat jarang sesorang beragama karena “memilih” tetapi karena “dipilihkan” baik oleh orangtua maupun lingkungan mayoritas. Kebebasan berkeyakinan juga hendaknya dimaknai sebagai kemerdekaan meyebarkan agama, menjalankan misi ajaran agama-nya dengan syarat semua kegiatan peyebaran agama tidak boleh menggunakan cara-cara kekerasan maupun paksaan secara langsung maupun tidak langsung. Sebagaimana yang sudah diajarkan oleh agama-agama misonaris (Islam dan Kristen) ketika pertama kali dikembangkan dan disebarkan di Indonesia. Kebebasan berkeyakinan juga tak hanya pada sebatas kemerdekaan untuk meyebarkan ajaran agamanya, akan tetapi juga mencakup kebebasan untuk berpindah agama sesuai dengan apa yang diyakini oleh pemeluknya atau penganutnya dapat membawa kepada keselamatan dunia dan akhirat, oleh karnanya berpindah agama hendaknya harus kita pahami sebagai sebuah proses pencarian dan/ atau penemuan kesadaran baru dalam beragama. Kebebasn berkeyakinan juga hendaknya mencakup pada pembolehan perkawainan antara dua orang yang berbeda agama atau berbeda sekte atau berbeda faham keagaman sepanjang perkawinan tersebut tidak mengandung unsur pemaksaan dan ekploitasi
Kebebasan berkeyakinan hendaknya juga mencakup kebebasan mempelajari ajaran agama mana pun di lembaga-lembaga pendidikan, termasuk lembaga pendidikan milik pemerintah. Dimana setiap siswa atau mahasiswa berhak memilih atau menentukan agama mana yang akan dipelajarinya. Tidak boleh dibatasi hanya pada agama yang dianut oleh para peserta didik, hal itu juga berlaku untuk memilih tidak mengikuti pelajaran agama tertentu. Akan tetapi, lembaga pendidikan dapat mewajibkan peserta didiknya untuk mengikuti pelajaran budi pekerti atau etika berdasarkan Pancasila, karena pelajaran itu penting bagi pembentukan warganegara yang baik. Kebebasan berkeyakinan hendaknya juga memberikan ruang pada kemunculan aliran keagamaan tertentu, bahkan kemunculan agama baru sepanjang tidak menggangu ketenteraman umum dan tidak pula melakukan praktek-praktek yang melanggar hukum, seperti penipuan atau pembodohan warga dengan kedok agama.
Konsekuensi dari kebebasan berkeyakinan, dimana negara tidak boleh membuat keputusan hukum lainnya yang menyatakan suatu aliran keagamaan atau kepercayaan yang baru tersebut sebagai “sesat dan menyesatkan”. Kebebasan berkeyakinan juga mengharuskan negara bersikap dan bertindak adil pada semua penganut agama dan kepercayaan yang hidup di negara ini. Negara tidak boleh bersikap dan berbuat diskriminatif terhadap mereka. Negara tidak boleh melakukan favoritism agama, hal ini bisa didiskusikan dalam konteks agama mana yang universal dan particular. Tidak ada istilah mayoritas dan minoritas, juga tidak ada istilah penganut agama samawi dan non-samawi. Serta tidak ada istilah agama induk dan agama sempalan. Demikian pula tidak ada istilah agama resmi dan tidak resmi. Setiap warga negara mendapatkan hak kebebasannya dalam menentukan pilihan agamanya. Fakta mayoritas berkuasa, maka minoritas mendapatkan haknya “Moyoritr rule, minority rights”. Frase ini sangat jelas dan diakui dalam alam demokrasi. Tapi jangan jadikan alasan mayoritas islam menuntut sesuatu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar