Percayahkah anda: Sejak dulu manusia selalu ditakdirkan untuk saling membunuh, pendusta, penghianat, idiot, maling, bajingan, rakus, pencemburu, ambisius, berpikiran buas, bermoral bejat, munafik dan goblok...

13 Sep 2010

Surat Dari Mr and Mrs. Anarki

Oleh: SangKodok


Seringkali sebuah sejarah hilang tanpa menyisakan jejak. Setiap detil dari apa yang telah ia sumbangkan ke dalam kehidupan manusia yang terhapus dengan begitu saja, seperti abu dari secarik kertas yang didalamnya tertulis sebuh syair yang berterbangan ke udara tanpa menigalkan sebuah bekas.

Anarki berkata, coba kau lihat dan dengarkan hampir disetiap media cetak dan elektronik belakangan ini, banyak sekali kata-kata ‘anarkis’, ‘anarkisme’, yang selalu didahului dan diakhiri dengan kata-kata, ‘jangan bertindak’, ‘akan ditindak tegas’, ‘kami mengutuk aksi’, dan sebagainya. Apakah ini sebuah gejala kebangkitan anarkisme di Indonesia?. Tak hanya seniman yang bereaksi jika mendengar namaku, politisi dan bahkan jurnalis juga akan bereaksi jika namaku disebut guna merespon hal-hal yang bersifat radikalisme yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang mengatasnamakan dirinya Islam dan atau organ-organ mafia yang mengatasnamakan kedaerahan ‘chauvinistik’.

Tindakan-tindakan radikalisme yang dilakukan oleh para pasukan jalanan ini dimulai dengan melakukan tindakan pelarangan sejumlah komunitas dan praktik-praktik berbau relijius yang tidak memiliki izin legal, seperti tindakan penutupan beberapa gereja kecil dan rumah-rumah ibadah kecil yang bersifat swadaya di daerah-daerah. Kelompok ini juga menyatakan perang terhadap Muslim manapun yang tidak termasuk di dalam struktur kekuasaan MUI, seperti yang terjadi terhadap muslim Ahmadiyah beberapa waktu lalu yang langsung dideskriditkan sebagai organisasi sesat.

Ini bukanlah sebuah tuduhan baru bagi anarkisme. Sudah sering kita mendengar seruan ‘jangan anarkis’ yang diteriakan oleh para aktivis mahasiswa di setiap demonstrasi. Setiap ada aksi kekerasan acak, dari pemukulan massa sampai kerusuhan yang mengatasnamakan Tuhan, didefinisikan sebagai aksi anarkisme. Ini adalah sebuah error, bukan hanya secara definisi dan sejarah dari pergerakan anarkisme sendiri, tetapi juga secara penggunaan bahasa. Apabila setiap tindakan kekerasan ‘tanpa legalitas’ didefiniskan sebagai anarkis, maka orang tua yang memukul anaknya pun bisa dikategorikan sebagai tindakan yang anarkis.

Timbul sebuah pertanyaan yang tentunya sangat mendasar sejak kapan bahasa indonesia menjadi sebuah bahasa carut-marut yang bisa seenaknya dimainkan oleh politisi dan media tanpa pernah mempertimbangkan asal-usul kata maupun sejarah yang melatar-belakanginya?. Seperti halnya kata komunis, dimana istilah komunis bukan saja mengaitkannya dengan sejarah PKI ala orde baru, tetapi juga mengisinya dengan segala macam pemikiran buruk seperti: tak bertuhan, pembunuh berdarah dingin, anti-demokrasi dan sebagainya. Padahal jika kita maknai bahwa pengertian dari kata Komunis adalah orang-orang yang mengadvokasikan sistem sosial yang berbasis komunalisme di mana segala sesuatu dimiliki secara bersama, tiada seorang pun yang memiliki hak untuk menguasai sumber daya alam ataupun alat produksi. Dan praktik komunalisme merupakan kecenderungan dari hampir setiap masyarakat di dunia sebelum mereka bertransformasi menjadi feodalisme menuju kapitalisme industri. Kaum anarkis sendiri, adalah mereka yang mengadvokasikan anarkisme sebuah masyarakat anti-otoritarian harmonis yang didasari atas kerjasama dari setiap individu yang bebas, ini berarti pemerintahan-mandiri, otonom yang saling mengisi tanpa mengekalkan adanya kekuasaan. Namun apakah para anarkis memiliki kesamaan serupa dengan para fundamentalis yang memecahkan kaca jendela tempat-tempat hiburan malam dan melarang orang untuk beribadah dengan mengatasnamakan moralitas?

Bisakah tindakan orang tua yang memukul anaknya sampai dengan tindakan radikal melarang orang untuk beribadah dikategorikan sebagai tindakan yang anarkis? Satu-satunya alasan tindakan mereka dikategorikan anarkis, adalah karena mereka bertindak di luar hukum. Sepanjang sejarah, para anarkis selalu mengajak setiap individu untuk bertindak dan berpikir untuk dirinya sendiri, berpikir dan bertindak secara mandiri tidak dengan diperintah. Seperti yang kita semua tahu, kebanyakan dari tindakan-tindakan radikalisme adalah konflik kepentingan kekuasaan yang ditindak lanjuti secara vulgar oleh pendukung-pendukung-nya, entah pengikut yang fanatik ataupun dari mereka yang dibayar.

Tindakan orang tua memukul anaknya, apakah anarkis? Bisa juga dikategorikan anarkis karena tidak pernah ada hak istimewa tertulis bagi orang tua untuk dapat menyiksa anaknya. Tapi pengertian sebenarnya dari anarki adalah ‘kekosongan dari kekuasaan’, dan ideolog anarkisme seperti Max Stirner beserta kaum anarkis sepanjang sejarah menjunjung tinggi ‘hak daulat individu’ tanpa terkecuali. Secara idenya, tindakan tersebut bukan tindakan anarkis. Itu lebih bisa dianalogikan dengan hubungan totaliter seorang raja terhadap rakyatnya, di mana ia memiliki kekuasaan penuh atas segala hajat hidup dan hak polik mereka, ia bisa merampas dan memberikan sesukanya. Tindakan orang tua yang memukul anaknya adalah wajar dari sebuah masyarakat yang memiliki watak otoritarian. Ini bukanlah anarkis, melainkan sesuatu yang selalu ditentang oleh para pemikir maupun praktisi anarkisme.

Dari sini kita bisa memahami bahwa tiada satu pun kekerasan yang biasanya dikaitkan dengan anarkisme ini sesuai dengan ide dari anarkisme itu sendiri. Ini terjadi karena beberapa hal yang remeh. Entah para jurnalis dan praktisi media yang kurang bisa membaca bahasa Inggris, ataukah mereka terlalu malas untuk membuka kamus maupun membaca buku untuk mempelajari sesuatu yang akan sering mereka gunakan. Walau di saat yang bersamaan mempercayai apapun yang disuapi oleh para politisi (pemimpin politik), termasuk kebodohan mereka?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar